Newsletter
Newsletter

Sebuah Cerita dari Timur

Scroll down
Putri Orin
Putri Orin
I`m
  • Residence:
    Indonesia
  • City:
    Jakarta

February 21, 2025

11:22 pm

Orin

Perjalanan Menuju “Sukses”

Pagi masih gelap, udara dingin menusuk kulit saat seorang anak kecil membuka mata di atas ranjang kayu sederhana yang berderit. Pukul 05:00, tubuhnya otomatis terbangun, seperti ada jam tak kasat mata yang membisikkan, “Bangun, hari ini menanti.” Dengan gerakan lambat, dia merangkak keluar dari selimut tipis, kakinya menyentuh lantai  yang dingin.

(Gambar Ilustrasi)

Di sudut dapur, dia mengambil sepiring nasi dingin sisa semalam. Dua sendok penuh, ditaburi garam kasar dan setetes minyak bekas gorengan kemarin. “Nasi goreng simpel,” gumamnya sambil mencium aroma minyak yang samar, lalu tersenyum kecil. Lidahnya merasakan asin yang sederhana, tapi perutnya bersyukur, tenaga untuk hari ini sudah aman. Dia melangkah ke tangga kayu rumah panggungnya, suara derit kayu mengiringi setiap pijakan. Di bawah, hutan belantara menanti, bayang-bayang pohon-pohon tua berdiri diam dalam kabut pagi, angin berdesir pelan membawa suara dedaunan yang bergoyang.

Dia menoleh ke Mama, matanya memohon. “Ma’, mataku nah,” Ma, aku takut, dalam bahasa Toraja.

Suara kecilnya hampir tenggelam oleh ketakutan. Mama berdiri di ambang pintu, dan melihat dengan matanya yang lembut.

Parrangngi nak, susi memang toh ke lamaballo ki,” jawabnya tegas, namun penuh kasih. Tahan saja, Nak, begitulah kalau ingin jadi lebih baik. Dia mengangguk, tapi air mata tak bisa ditahan hangat mengalir di pipi dinginnya.

Langkah pertamanya bergetar, lalu dia mempercepat diri, berlari kecil sambil menyanyi sumbang, “Nah, nah, nnnn, aku, aku, laa, lalalaa.” Suaranya pecah oleh angin, tapi itu cukup untuk mengusir bayangan-bayangan yang mengintai dari balik pohon. Hutan akhirnya tertinggal. Dia berhenti sejenak, napasnya memburu, dan tiba-tiba tertawa kecil rasanya seperti prajurit cilik yang baru kabur dari sarang musuh. Matahari mulai naik, sinarnya lembut menerobos celah-celah daun.

Tapi perjalanan belum selesai. Lima kilometer lagi, dan di depan sana sungai besar mengalir deras, permukaannya berkilauan di bawah cahaya pagi. Dia melepas seragamnya, melipatnya rapi dengan tangan kecilnya yang sedikit gemetar, lalu melangkah masuk ke air. Dinginnya menusuk tulang, arus menarik-narik kakinya, tapi dia bertahan langkah demi langkah, pelan tapi pasti. Sampai di seberang, dia menggigil sambil memakai kembali seragamnya yang sudah kusut. Teman-temannya muncul di kejauhan, melambai riang. “Ayo, cepat!” teriak mereka. Dia berlari, keringat mulai bercampur dengan sisa air sungai di bajunya. Tawa mereka bergema di udara, membuat beban di pundaknya terasa ringan.

(Gambar Ilustrasi)

Akhirnya, sekolah terlihat bangunan sederhana dengan atap seng yang berkarat, tapi baginya itu istana harapan. Pukul 13:30, lonceng tua berdentang nyaring, menggema seperti suara dari zaman Belanda. Dia tergelak dalam hati, “Ini apa, masih pakai lonceng?” “Natan!” teriaknya lantang, memanggil sahabatnya yang sudah berdiri di pintu kelas. Mereka melangkah keluar bersama, matahari siang membakar kulit mereka. Panas terasa seperti tungku, tapi candaan sahabat-sahabatnya membuatnya tak peduli. Sesekali mereka berhenti di pipa air tua di pinggir jalan, berjongkok untuk menangkap tetesan air yang dingin ke mulut mereka segar, meski bercampur bau tanah. Perjalanan pulang riuh oleh tawa, sampai teman-temannya mulai berkurang satu per satu.

Dar, singgah di rumah!” kata yang satu. “Dar, duluan ya!” sahut yang lain.

Dia hanya tersenyum tipis, “Saya duluan saja,” jawabnya pelan, lalu melangkah sendirian.

Jalanan terasa panjang. Baju seragamnya dilepas, diikatkan di kepala untuk menangkis sinar matahari yang tak kenal ampun. Keringat menetes ke matanya, perih, tapi dia terus berjalan. Di bawah pohon besar, dia duduk sejenak, punggungnya bersandar pada batang yang kasar, napasnya berat. Hutan itu menanti lagi, kegelapan yang sama yang dia takuti pagi tadi. Tangan kecilnya gemetar, jantungnya berdetak kencang, tapi dia tak bisa berhenti. Suara aneh keluar dari mulutnya lagi, “Nah, nah, aku, aku, lalalaa,” nyanyian tak jelas yang lebih mirip teriakan kecil. Angin membawa suaranya pergi, dan akhirnya, atap rumah muncul di kejauhan, merah pudar, berkarat, tapi baginya indah seperti mercusuar.

Pukul 15:42, dia sampai. Kakinya lecet, tubuhnya basah oleh keringat.

Nak nanti kalau sudah makan, istirahat terus bantu Bapak dikebun, membersihkan,” perintah Mama dari dalam rumah, suaranya lembut.

“Iya, Ma,” jawabnya sambil tersenyum lelah, lalu menyeret kaki ke dalam. Begitulah hari-harinya di kelas lima SD. Tak setiap hari dia bisa ke sekolah, hujan deras atau banjir kadang memenjarakannya di rumah. Tapi semangatnya tak pernah mati. Kadang dia ikut orang tuanya ke hutan, menarik rotan dengan tangan kecil yang penuh luka, demi SPP 120 ribu setahun uang yang terasa seperti gunung baginya.

Di kepalanya, kata “sukses” bergema seperti mantra. Apa itu sukses? Haruskah dia menjadi tua, dewasa, kaya, punya rumah besar dan mobil berjejer? Orang bilang, “Sukses itu saat kau bahagia.” Dia setuju, tapi baginya, bahagia sudah ada dalam tawa sahabatnya yang gila, dalam candaan Papa di kebun saat matahari terbenam, dan dalam setiap langkah yang membawanya pulang dengan selamat.

Waktu berlalu, dia lulus SD. Kata “sukses” masih jadi teka-teki, bayangan yang dia kejar hingga kini. “Mungkin orang sukses itu cuma mikirin diri sendiri, itu pemikiran palsu,” gumamnya suatu hari saat masih kecil, duduk di bangku kayu kelasnya. Kini, setelah berbagai usaha dan liku, dia masih mencari jawaban. “Mungkin ini cara Tuhan melatih kesabaran saya,” pikirnya sambil tertawa kecil, suaranya ringan tapi penuh makna.

 

Posted in Story
Write a comment

© 2026 All Rights Reserved.
Email: hello@putriorin.com
Write me a message

    * I promise the confidentiality of your personal information