Newsletter
Newsletter

Pulang

Scroll down
Putri Orin
Putri Orin
I`m
  • Residence:
    Indonesia
  • City:
    Jakarta

March 12, 2025

10:41 am

Orin

Setiap tahun, ketika Ramadan mulai mengintip di ufuk atau saat bulan itu sudah berjalan separuh, saya mendapati diri terperangkap dalam sebuah pola yang tak pernah berubah. Saya akan duduk di depan layar, jari-jari ragu menari di atas tombol, mencari tiket untuk pulang ke kampung. Seharusnya, ini adalah saat yang membawa sedikit cahaya bagi seorang perantau seperti saya, bayangan rumah tua dengan pintu kayu, aroma masakan ibu, dan suara ayah yang kini terdengar lebih parau karena usia. Tapi kenyataannya, yang muncul justru rasa berat, seperti ada batu besar yang mengendap di dada. Bertahun-tahun saya habiskan untuk mengejar sesuatu di kota-kota asing, dari satu sudut jalan ke sudut lainnya, meninggalkan jejak di trotoar yang tak pernah benar-benar mengenal saya. Dan setelah semua itu, apa yang saya dapat? Hanya usia yang bertambah, sementara hidup ini tetap seperti air di telapak tangan terlihat ada, tapi tak bisa digenggam.

Di perjalanan mudik, saya sering memilih tempat duduk di dekat jendela. Bukan karena pemandangan, tapi karena rasanya lebih aman untuk tenggelam dalam pikiran. Di luar sana, dunia bergerak cepat, lampu-lampu jalan berkedip, mobil-mobil berderet, dan sesekali saya melihat keluarga kecil yang duduk berdekatan, anak-anak yang bersandar di pundak ibunya, atau pasangan yang berbagi senyum kecil. Mereka pulang untuk hari raya, untuk berkumpul, untuk merajut kehangatan yang saya tahu tak akan pernah saya temukan dalam kesepian ini. Saya hanya bisa menatap, diam, membiarkan iri itu menggerogoti hati tanpa suara. Ada kalanya saya bertanya dalam hati, “Buat apa saya pulang kalau hanya untuk menjadi bayangan di tepi cerita orang lain?”

Impian

Rindu itu nyata, tentu saja. Saya bisa merasakannya di ujung-ujung jari, di setiap tarikan napas yang terasa lebih panjang saat memikirkan kampung. Saya rindu tanah yang pernah jadi tempat saya berlari kecil, rindu suara ibu yang memanggil dari dapur, rindu tatapan ayah yang penuh cerita tanpa kata. Tapi selalu ada sesuatu yang menahan langkah, sebuah rasa sakit yang membelit, campuran antara lelah dan takut. Hari raya, yang seharusnya menjadi waktu untuk damai, malah sering berubah menjadi cermin yang memantulkan kekurangan. Selesai saling memaafkan, tetangga akan datang dengan senyum ramah dan pertanyaan yang menusuk. “Kapan bawa pasangan? Kapan nikah? Masa kalah sama adiknya. Si anu pulang bawa mobil sama keluarga, kamu kapan?” Kata-kata itu seperti angin dingin yang menyelinap masuk, membekukan sesuatu yang sudah lama rapuh.

Dulu, saya pernah punya mimpi. Bukan yang muluk-muluk sebenarnya, tapi cukup besar untuk membuat mata saya berbinar, sebuah hidup yang utuh, tangan seseorang yang akan menggenggam erat tangan saya di tengah keramaian seperti ini, dan hari raya yang dirayakan bersama. Tapi mimpi itu perlahan memudar, seperti lukisan yang terkena hujan, warnanya luntur, bentuknya kabur. Pernikahan yang saya bayangkan, dengan keluarga berkumpul di bawah lampu-lampu kecil dan doa-doa yang menggema, tak pernah jadi nyata. Yang ada hanya sebuah janji sederhana, disaksikan dalam sunyi, tanpa tawa, tanpa kehangatan. Kami berdua berusaha menyimpan-nya, tapi entah kenapa, usaha itu selalu berakhir di ujung pertengkaran yang melelahkan. Kami dewasa, tapi tak cukup dewasa untuk menjaga apa yang kami mulai. Dan sekarang, saat hari raya itu datang untuk kedua kalinya, saya kembali pulang sendiri, meninggalkan bayangan tentang mudik bersama yang dulu pernah saya impikan.

Arah Pulang

Hidup ini seperti panggung yang tak pernah sepi. Saya bermain peran, mengukir senyum di wajah saat bertemu orang, menyembunyikan pecahan-pecahan hati di balik tawa kecil. Tapi di dalam, saya tahu saya sedang tersesat. Saya berdiri di tengah persimpangan, jalanan bercabang membentang di depan mata, dan kaki ini tak tahu harus melangkah ke mana. “Pulang ke mana? Rumah yang mana?”. Saya merasa seperti daun yang terlepas dari pohonnya, terbawa angin tanpa arah, tanpa tempat untuk mendarat. Mimpi-mimpi yang dulu saya susun rapi kini hanya puing, dan saya hanya bisa menatapnya dengan pandangan kosong, bertanya-tanya kapan semuanya jadi begini.

Saat doa-doa terucap dari bibir yang gemetar, saya mendapati diri berbicara kepada Tuhan. “Kenapa hidup saya seperti ini?” Keluh itu terlepas begitu saja, membawa serta semua beban yang selama ini saya pendam. Saya tahu saya seharusnya bersyukur, ada atap di atas kepala, ada makanan di meja, tapi hati ini tak bisa berbohong. Saya bingung, terjebak dalam labirin yang tak kunjung menunjukkan pintu keluar. Dan di tengah keheningan itu, sebuah pikiran muncul, pelan tapi jelas, mungkin pulang yang sesungguhnya bukan ke kampung, bukan ke masa lalu, tapi ke pelukan Yang Maha Kuasa. Mungkin di sana saya akan menemukan rumah, tempat di mana saya tak perlu lagi mencari-cari tujuan, tak perlu lagi menyamarkan luka dengan senyum. Tapi untuk saat ini, saya hanya bisa berdiri di sini, di tengah jalan yang tak berujung, menatap cakrawala dengan mata basah, dan bertanya dalam hati, “Ke mana saya harus pulang?”

 

Posted in StoryTags:
Write a comment

© 2026 All Rights Reserved.
Email: hello@putriorin.com
Write me a message

    * I promise the confidentiality of your personal information