Newsletter
Newsletter

Pertigaan Jalan

Scroll down
Putri Orin
Putri Orin
I`m
  • Residence:
    Indonesia
  • City:
    Jakarta

February 19, 2025

11:01 pm

Orin

Senja di Antara Keramaian

Sore itu, matahari perlahan tenggelam di ufuk barat, menyisakan semburat jingga yang redup di langit Jakarta. Saya melangkah cepat menuju pertigaan jalan, sepatu saya yang sudah usang berderit pelan di trotoar yang retak-retak. Angin sore bertiup lembut, membawa aroma asap knalpot bercampur bau manis bakso pentol dan cilok dari pedagang kaki lima di seberang jalan. Perut saya keroncongan, tapi saya menahan diri. JakLingko, angkutan umum gratis yang jadi penutup celah hemat saya, adalah tujuan saya sekarang. Tak ada ruang untuk godaan-godaan kecil seperti itu.

Saya berdiri di pinggir jalan, mengedarkan pandangan ke sekeliling. Di dekat saya, seorang ibu muda duduk santai di bangku halte sederhana, mengipasi anaknya yang tertidur di pangkuan. Di sisi lain, seorang pria berjaket lusuh asyik menekuri ponselnya, jarinya gesit menari di layar—mungkin sedang membalas pesan atau sekadar tenggelam dalam dunia digital yang menawarkan pelarian. Di kejauhan, sepasang remaja berlari kecil, kaus mereka basah keringat, seolah baru saja selesai berolahraga untuk mengusir penat.

Saya menghela napas, mencium aroma sore yang kini bercampur dengan bau tanah basah—mungkin hujan baru saja reda di suatu sudut kota. Perut saya kembali bergemuruh, dan untuk sesaat, saya membayangkan diri saya berhenti di gerobak cilok itu, memesan seporsi dengan saus kacang yang kental. Tapi sebelum lamunan saya semakin liar, deru mesin angkutan JakLingko memecah keheningan. Saya buru-buru melangkah, hampir tersandung, dan naik ke dalam kendaraan yang sudah penuh sesak.

Duduk mana, ya?” gumam saya dalam hati sambil memilih kursi dekat dengan pintu. Akhirnya, saya menemukan satu tempat kosong di dekat jendela. Begitu duduk, saya langsung memalingkan wajah ke luar, lalu ke dalam, memperhatikan penumpang lain. Ada seorang bapak tua dengan topi caping lusuh, matanya sayu menatap ke depan. Di sampingnya, seorang gadis remaja memakai earphone, kepalanya bergoyang pelan mengikuti irama lagu yang tak bisa saya dengar. Saya suka momen ini mengamati orang-orang asing, wajah-wajah yang tak saya kenal, tapi entah kenapa terasa begitu hidup. Mereka membawa cerita yang tak pernah saya tahu, dan saya merasa sedikit terhubung, meski hanya dalam diam.

Kerancuan dalam Kebijakan

Angkutan melaju cepat, melewati jalanan yang untungnya tak macet sore ini. Pagi tadi, saya membaca berita di ponsel saya tentang demo besar-besaran yang mengguncang Jakarta, Bandung, Jogja, bahkan Makassar. Tuntutan mereka beragam: mencabut Inpres Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja, menuntut transparansi pembangunan, menolak revisi UU Minerba yang katanya tak adil, hingga memprotes pemangkasan anggaran yang seharusnya dipikir ulang. Pikiran saya bergulat dengan rasa frustrasi yang sudah lama mengendap. Saya mencintai negeri ini, tapi kadang rasanya seperti kami, rakyat kecil, hanya jadi penutup lubang di jalanan yang tak pernah diperbaiki.

Pak, Stasiun Cakung ya,” ucap saya pelan pada sopir, suara saya hampir tenggelam oleh deru mesin. Angkutan berhenti, dan saya turun dengan langkah berat. Saya menatap ponsel saya yang layarnya redup. Tak ada pesan. Tak ada panggilan. “Anjir, sepi banget ini HP,” umpat saya dalam hati, getir. Saya berharap ada satu nama yang muncul di sana, tanda bahwa saya diingat, bahwa saya berarti bagi seseorang. Tapi layar itu kosong, seperti harapan saya sore ini.

Saya berjalan perlahan di trotoar, memandangi jalanan yang mulai ramai oleh kendaraan pulang kerja. Klakson mobil dan motor bersahutan, saling berlomba mendahului. Tapi bagi saya, itu semua hanya latar belakang yang hampa. Langkah saya membawa saya ke sebuah warung kecil di pinggir jalan. Aroma kopi hitam menyelinap ke hidung saya, dan saya tak bisa menolak.

Bu, kopi hitam satu,” kata saya pada penjaga warung, seorang ibu paruh baya dengan senyum ramah.

Pahit apa manis, Mbak?” tanyanya sambil mengaduk sesuatu di cangkir kecil.

Pahit aja, Bu. Biar sesuai sama hidup,” canda saya, tapi ibu itu hanya tertawa kecil, tak tahu bahwa saya serius.

Saya duduk di bangku kayu yang sudah lapuk, jemari saya menggenggam cangkir hangat itu erat-erat. Kehangatannya meresap ke telapak tangan saya yang dingin. Seteguk demi seteguk, kopi itu mengalir ke tenggorokan saya, membawa sedikit ketenangan di tengah kekacauan pikiran. Di sekitar saya, orang-orang sibuk dengan dunia mereka. Dua pria di meja sebelah berbicara serius, suara mereka terdengar samar.

Demo tadi rame banget, katanya besok mau lanjut lagi,” ujar salah satunya, menghela napas.

Yah, mau gimana lagi, kita cuma bisa teriak doang,” balas yang lain, nada sinisnya terasa menusuk.

Saya memalingkan wajah, tak ingin ikut larut dalam percakapan mereka. Di sudut lain, sekelompok anak muda tertawa lepas, mungkin berbagi cerita yang jauh dari urusan berat seperti kebijakan atau demo. Tapi saya? Saya hanya diam, tenggelam dalam kesendirian yang semakin tebal.

Kopi di cangkir saya habis. Saya meletakkannya di meja, lalu bangkit. Langkah saya kembali membawa saya ke jalanan, di mana lampu-lampu jalan mulai menyala satu per satu, menyisakan cahaya kuning yang redup di trotoar. Senja sudah benar-benar pergi, digantikan malam yang dingin. Saya berjalan pelan, membiarkan kota ini menelan saya dalam keramaiannya yang hampa.

Mungkin hari ini akan sama saja seperti kemarin,” gumam saya pada diri sendiri, suara saya hilang di antara deru kendaraan dan angin malam.



 

Posted in Story
Write a comment

© 2026 All Rights Reserved.
Email: hello@putriorin.com
Write me a message

    * I promise the confidentiality of your personal information