Newsletter
Newsletter

Pundak Anak Ketiga

Scroll down
Putri Orin
Putri Orin
I`m
  • Residence:
    Indonesia
  • City:
    Jakarta

April 8, 2025

4:51 pm

Orin

Langit petang itu kelabu, seolah menyelimuti pundaknya dengan kain usang yang penuh debu. Kaki-kakinya melangkah, bukan karena ingin, tetapi karena harus. Di pundaknya, beban tak kasat mata bertumpuk rapi, harapan yang dipaksakan, cemoohan yang menggigit, dan mimpi yang terlalu besar untuk dunia kecil di sekitarnya. Dia bukan sulung yang diagungkan, bukan pula bungsu yang dimanjakan. Dia anak ketiga, yang terjepit di antara bayang-bayang saudaranya, seolah ditakdirkan untuk menanggung apa yang tak mampu mereka pikul.

Di matanya, dunia adalah lukisan buram. Kakak perempuannya, dulu gadis yang penuh tawa, kini hanya sisa-sisa harapan yang dikhianati. Suaminya pergi, meninggalkan luka dan tanggung jawab yang kini dipikulnya seorang diri. Wajahnya yang dulu cerah kini pucat, hidupnya seadanya, bertahan di antara reruntuhan mimpi yang pernah dia rajut. Lalu ada kakak lelakinya, yang usianya sudah menua namun pikirannya seperti terperangkap dalam waktu. Dia benalu, parasit yang hidup dari kiriman uang, dan jika tak diberi, ancaman-ancaman kasar mengalir bagai sungai keruh. Ibu, dengan kaki renta yang gemetar setiap melangkah, masih membelanya. “Dia anakku,” katanya lirih, seolah cinta seorang ibu bisa menutupi segala cela. Tapi di mata anak ketiga ini, cinta itu terasa seperti belenggu.

Dan si bungsu, kebanggaan keluarga, yang dulu dielu-elukan karena langkahnya yang cepat menuju pelaminan. Dia menikah muda, membawa harapan bahwa cucu akan mengisi rumah dengan tawa. Tapi kini, hidupnya adalah ironi yang pahit. Anaknya ada, namun ibu menimang-nimang pun sulit, karena istri si bungsu menjaga jarak dengan cemburu yang tak masuk akal. Ibu hanya bisa menatap dari jauh, matanya basah oleh rindu yang tak tersampaikan.

Hidup ini seperti puisi yang tak pernah selesai ditulis, penuh bait kelam dan rima yang tak selaras. Dia, anak ketiga, sering disebut aneh. Terlalu berani, katanya. Terlalu bermimpi, cemooh mereka. Tapi di antara saudaranya yang tenggelam dalam ketidakberdayaan, dia adalah nyala kecil yang menolak padam. Dia mengambil risiko, melangkah di tepi jurang, bukan karena nekat, tetapi karena dia tahu, diam berarti mati.

Suatu malam, ketika angin dingin menyelinap melalui celah-celah jendela, sebuah pesan singkat menyelinap ke layar ponselnya. “Mbak, aku beliin sepatu ya? Sepatuku udah jebol, aku gak punya sepatu lagi.” Dari si bungsu, adik yang pernah jadi kebanggaan, kini hanya suara kecil yang meminta belas kasih. Jantungnya terasa diremas. Sepatu jebol, kata-kata itu bergema, membawanya pada bayangan kaki-kaki kecil yang dulu berlari riang, kini tertatih di jalanan hidup yang tak pernah adil.

Dia menatap langit malam, bertanya pada bintang yang redup. “Hidup seperti apa ini?” Gumamnya lirih, seolah angin bisa membawa jawaban. Di pundaknya, beban itu masih ada, berat, tak pernah ringan. Tapi di matanya, ada kilau kecil, harapan yang dia genggam erat meski dunia mencoba merenggutnya. “Hidup yang indah dan bahagia,” bisiknya pada dirinya sendiri, “mungkin bukan untukku sekarang. Tapi aku akan terus melangkah, meski kaki ini lelah, meski pundak ini patah. Karena di antara reruntuhan ini, aku adalah yang berbeda dan itu cukup.”

Posted in StoryTags:
Write a comment

© 2026 All Rights Reserved.
Email: hello@putriorin.com
Write me a message

    * I promise the confidentiality of your personal information