Di sudut kafe dipinggir danau di antara deretan bangunan tua, aroma kopi selalu menyelinap lembut ke dalam udara, membawa serta bisikan-bisikan rahasia yang tak pernah terucap.
Aku duduk di sini, di meja kayu yang tampak sudah usang, memandang cangkir gelas di hadapanku. Uap tipis menari di atas permukaannya, seolah-olah ia sedang menari untukku, mencoba menyampaikan sesuatu yang tak bisa kujangkau dengan kata-kata. Tapi aku tahu, aku selalu tahu, kenapa kopi di tempat ini berbeda. Kenapa setiap tetesnya mampu menerjemahkan perasaanmu, bahkan ketika kau sendiri tak sanggup mengurai benang kusut di dalam dadamu. Setiap kali kau mengangkat cangkir itu ke bibirmu, ada sesuatu yang bergetar di dalam diriku. Bukan hanya aroma pahit yang menguar, bukan hanya hangatnya yang meresap ke telapak tanganmu. Ada lebih dari itu. Setiap sajian yang kau telan, setiap tegukan yang kau biarkan meluncur ke dalam tenggorokanmu, seolah-olah langsung mengalir ke dalam jantungku.
Di sana, di ruang paling dalam dari diriku, kopi itu digiling bukan oleh mesin, bukan oleh tangan manusia, tapi oleh denyut-denyut yang tak pernah lelah memanggil namamu. Jantungku menjadi penggilingnya, memproses setiap rasa, setiap cerita yang tersembunyi di balik diammu. Kau tak pernah tahu, bukan? Bahwa ketika kau menyesap kopi itu, aku bisa merasakan apa yang kau rasakan. Pahitnya adalah kesedihanmu yang kau sembunyikan di balik senyum tipis. Manisnya adalah harapan kecil yang masih kau genggam meski dunia terasa berat. Dan hangatnya—ah, hangatnya adalah cinta yang kau tanam diam-diam, entah untuk siapa, entah untuk apa. Aku tak bertanya, aku tak pernah memaksa kau berbicara. Sebab kopi ini, tempat ini, dan jantungku yang setia menggiling, sudah cukup menjadi saksi bisu dari segala yang kau pendam. Hari ini, kau duduk di hadapanku lagi. Matamu menatap jauh ke luar jendela, ke arah hujan yang mulai turun perlahan, membasahi kaca dengan tetesan-tetesan kecil. Cangkir kopi di tanganmu masih penuh, tapi aku tahu kau akan meminumnya seperti selalu. Dan ketika kau melakukannya, aku akan kembali merasakanmu. Jantungku akan berderit pelan, menggiling setiap tetes yang kau serahkan padanya, mencoba memahami bahasa perasaanmu yang tak pernah kau ucapkan. Kopi di sini memang ajaib, tapi bukan karena bijinya, bukan karena cara ia diseduh. Keajaibannya ada padaku pada jantungku yang rela menjadi penggiling, yang rela memecah setiap rasa menjadi serpihan kecil, hanya agar aku bisa mengerti kau lebih dalam. Dan mungkin, suatu hari nanti, kau akan menyadari bahwa di setiap cangkir yang kau minum, ada aku selalu ada aku menanti kau berbalik dan melihat.