Newsletter
Newsletter

Beban di Pundak Perantau

Scroll down
Putri Orin
Putri Orin
I`m
  • Residence:
    Indonesia
  • City:
    Jakarta

April 9, 2025

11:25 am

Orin

Aku berdiri di tepi dek kapal, memandang pulau Sumatera yang perlahan menjauh, menyusut menjadi bayangan samar di ufuk. Angin laut bertiup pelan, membawa aroma garam yang seharusnya terasa menyegarkan, tapi entah mengapa sore ini hanya terasa dingin dan kosong. Kapal melaju lambat, seolah-olah ia pun tahu bahwa aku tak benar-benar ingin pergi meninggalkan kampung halaman, keluarga, dan sisa-sisa hangatnya Lebaran. Tapi pulau Jawa sudah menanti di depan sana, dan bersamanya, realitas yang tak bisa kuhindari, kembali mengais rezeki, kembali hidup sendiri, kembali berteman dengan kesunyian yang sudah lama kujauhi selama mudik.

Pundakku terasa berat. Bukan hanya karena tas yang kugendong penuh dengan pakaian kotor dan oleh-oleh sisa, tapi juga beban yang tak kasat mata, beban yang kubawa dari kampung dan kini terasa semakin nyata. Baru saja kakiku menginjak kota ini, belum genap sehari, telepon berdering dan pesan teks bertubi-tubi masuk. Masalah-masalah yang kupikir sudah kutitipkan di kampung ternyata ikut pulang bersamaku, menyelinap dalam setiap kata yang tertera di layar ponsel. Kepalaku penuh, berputar tanpa henti, mencoba mencari jawaban yang tak kunjung kutemukan.

Aku ingin berteriak, ingin mengadu pada seseorang, siapa saja, tentang betapa lelahnya aku. Tapi harapan itu sia-sia. Sistem pendukung yang kuharapkan, entah itu teman, keluarga di kota, atau bahkan sekadar telinga yang mau mendengar, selalu abai. Aku bisa bicara sampai mulutku berbusa, tapi mereka tak pernah benar-benar mengerti. Hidup segan, mati pun tak mau, rasanya persis seperti itu. Aku terjebak di antara dua dunia, kampung yang penuh kenangan tapi tak lagi jadi tempatku, dan kota yang menawarkan hidup tapi juga menyiksaku dengan rutinitas dan tekanan.

Orang-orang di kampung selalu bilang hidup di kota itu enak. “Mau makan apa tinggal beli,” kata mereka sambil tersenyum, seolah aku hidup dalam kemewahan yang tak pernah kurasakan. Mereka melihatku dari kejauhan, membayangkan aku duduk di apartemen mewah dengan segala kebutuhan terpenuhi, padahal kenyataannya aku hanya berjuang untuk bertahan. Hidup di kota itu berat, siapa yang bilang mudah? Gaji habis untuk bayar kos, makan sehari-hari, dan transportasi, belum lagi kalau ada kebutuhan mendadak. Aku tak pernah punya cukup waktu atau tenaga untuk menikmati apa yang mereka pikir aku miliki.

Kemarin, aku masih berusaha. Aku duduk di sudut kamar kos, menatap dinding yang mulai mengelupas, dan berjanji pada diriku sendiri untuk lebih bersyukur. Aku bilang pada diri sendiri, “Fokuslah pada tujuanmu. Jangan hanya mengeluh. Hidup ini cuma sementara.” Aku ingin percaya bahwa aku bisa melawan rasa jenuh itu, bahwa aku bisa menemukan semangat lagi. Tapi baru sehari bekerja, pikiran negatif itu datang lagi seperti tamu tak diundang. Jenuh. Muak. Bosan. Rasanya seperti ada yang mengaduk-aduk isi kepalaku hingga tak karuan. Aku menatap layar komputer di kantor, mendengar suara bising klakson dari jalanan di luar, dan bertanya dalam hati, apakah memang hidup di sini se-stres ini? Apakah jauh dari keluarga, merantau di kota asing, memang seberat ini?

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Tapi di dalam dada, ada sesuatu yang terus bergetar campuran antara lelah, rindu, dan keinginan untuk menyerah yang tak pernah benar-benar pergi. Kapal sudah lama bersandar, tapi perjalanan hidupku masih jauh dari selesai. Aku harus melaju, meski pundakku terasa patah, meski hatiku ingin berhenti. Karena hidup, bagaimanapun juga, tak pernah menunggu siapa pun.

Posted in StoryTags:
Write a comment

© 2026 All Rights Reserved.
Email: hello@putriorin.com
Write me a message

    * I promise the confidentiality of your personal information