“Anda sudah makan malam belum?” tanyanya, suaranya lirih tertelan suara gerimis.
“Belum”.
“Mau makan Mie Titi? Kita coba makan di Mie Titi Irian, katanya enak. Setelah itu, kita beli Sarabba.”
“Oke, saya mah ngikut aja. Btw, Sarabba itu yang mirip Bandrek ya? Minuman jahe susu yang pernah saya ceritakan?”
Mie Titi ex Irian ( Mie Titi Irian )


Apa itu Mie Titi ?
Bagi yang belum tahu, Mie Titi adalah hidangan khas Makassar. Mie ini digoreng hingga kering dan renyah, kemudian disiram kuah kental gurih berisi daging ayam, bakso, udang, cumi, serta sayur sawi.
Mie Titi Irian sendiri telah berdiri sejak tahun 1950 dan memiliki banyak cabang di Makassar. Bukan hanya favorit warga lokal, tetapi juga menjadi destinasi kuliner bagi wisatawan. Pilihan menu utama ada dua: Mie Titi Ayam dan Mie Titi Seafood. Selain itu, mereka juga menyediakan menu lain seperti nasi goreng, mie kuah, dan ayam goreng. Harga yang ditawarkan berkisar antara Rp 33.000 hingga Rp 44.000.

“Dan saya yakin, salah satu alasan mereka bersemangat bekerja adalah karena ada orang yang ingin mereka bahagiakan,” gumam saya dalam hati.
Saya menggeleng. “Belum terlalu lapar sih, kamu gimana?”
“Saya juga belum lapar. Saya mah bisa makan Mie Titi kapan aja.” jawabnya santai
Saya tertawa kecil. “Ya udah, kita cari makan lain aja, atau kita minum Sarabba dulu?”
“Ya oke lah kalau begitu.”
Perjalanan Malam Menuju Kedai Sarabba
“Gak lah. Saya udah biasa jalan kaki. Dulu di Jakarta, pas pulang kerja macet banget, saya sering turun dari angkot dan jalan kaki. Lagian, saya memang lebih suka jalan kaki. Mungkin karena saya gak bisa naik motor.” Saya terkekeh.
“Sebenernya bisa sih, tapi malas aja.”
“Wih, parah banget. Emang kadang suka asal mukulin orang.”

Malam semakin larut, namun hiruk-pikuk kota Makassar justru kian ramai. Lampu-lampu jalan berpendar, beradu cahaya dengan sorot kendaraan yang terus melaju tanpa henti. Asap knalpot dan suara klakson berpadu dalam simfoni khas kota besar. Namun di antara riuhnya mesin dan langkah-langkah tergesa, hanya ada segelintir pejalan kaki yang melangkah pelan, saya salah satunya.
Di bawah langit yang setengah tertutup cahaya buatan, kami berjalan beriringan, berbincang sepanjang perjalanan. Obrolan mengalir begitu saja, membahas kehidupan, perjalanan, impian, dan cita-cita yang belum sempat terwujud. Kata-kata yang terucap seakan menari di udara, menambah kehangatan di antara dinginnya angin malam.

Sarabba Minuman penghangat Malam
Akhirnya, kami tiba di Jl. Sungai Cerekang. Deretan warung Sarabba berjajar di pinggir jalan. Para penjual menawarkan dagangannya dengan antusias, bahkan sampai mendekati kendaraan yang melintas. Saya mengernyit.
“Itu kenapa harus nawarinnya kayak gitu sih? Nggak takut ketabrak?”
“Entahlah. Memang dari dulu seperti ini. Mungkin karena mereka berpikir cara ini bisa menarik pelanggan lebih banyak.”
Kami memilih duduk di sebuah warung tepat di depan Vihara Dharma Agung. Warung itu tidak terlalu ramai, suasananya cukup nyaman.

“Pesan dua Sarabba ya, Kak,” ucap saya kepada pelayan.
“Mau tambah pisang epe atau mie juga?” tanyanya ramah.
Saya menoleh ke teman saya. “Anda mau pisang juga?”
“Pisang epe aja. Saya nggak makan. Tapi kamu lapar ya? Tadi bilang belum lapar.”
Saya nyengir. “Iya, habis jalan, baru terasa lapar.”
Saya pun memesan tambahan pisang epe dan mie goreng.

Apa itu sarabba?
Sarabba adalah minuman khas Bugis yang terbuat dari jahe, gula aren, santan, merica, serta rempah-rempah seperti cengkeh dan kayu manis. Mirip dengan Bandrek, tetapi lebih kental karena dicampur santan. Minuman ini sangat cocok untuk menghangatkan tubuh, terutama di musim hujan seperti ini. Selain itu, Sarabba juga kaya manfaat jahe membantu melancarkan peredaran darah, gula aren mencegah anemia, dan santan kelapa mengandung zat besi yang baik bagi tubuh.
Ketika Sarabba tersaji di hadapan kami, aroma rempahnya langsung menyeruak, menghangatkan malam yang dingin. Saya meniup permukaannya perlahan sebelum menyesapnya. Rasa hangat langsung menjalar dari tenggorokan hingga ke dada.
“Ini enak banget. Kayaknya bisa jadi favorit saya.”
“Makanya, tadi saya ajak coba.”
Malam itu, kami duduk di warung kecil itu, menikmati Sarabba sambil mengobrol santai. Hujan yang tadi mengguyur Makassar seolah jadi pembuka malam yang sederhana tapi penuh rasa. Di tengah udara dingin dan langkah panjang, saya merasa kebersamaan seperti ini ternyata lebih berarti dari sekadar mengisi perut.