Newsletter
Newsletter

Makassar dan Perjalanan saya

Scroll down
Putri Orin
Putri Orin
I`m
  • Residence:
    Indonesia
  • City:
    Jakarta

March 23, 2022

5:42 pm

Orin

Langit Makassar menyambut saya dengan gerimis tipis ketika pesawat yang saya tumpangi mendarat mulus di Bandara Sultan Hasanuddin, Maros, Sulawesi Selatan. Perjalanan ini terasa istimewa—setelah hampir setahun lebih saya hanya berkutat di kota kelahiran akibat pandemi, akhirnya saya kembali bisa melangkahkan kaki ke kota yang sejak lama ingin saya kunjungi.

“Akhirnya, saya menginjakkan kaki di Kota Daeng,” gumam saya, hampir tak percaya.

Seperti biasa, perjalanan ini datang begitu saja, tanpa banyak perencanaan. Saya memang tipe orang yang spontan. Jika ingin pergi ke suatu tempat, saya hanya perlu mengecek tiket, menentukan destinasi, lalu mencari tahu makanan khasnya. Jika semua cocok, tanpa ragu saya berangkat. 

Malam itu, suasana bandara begitu hidup meskipun sudah larut. Deretan taksi online dan mobil pribadi berjejer di area penjemputan, sementara beberapa orang tampak terburu-buru dengan koper di tangan. Udara terasa lembap, membawa aroma laut yang samar-samar tercium di antara semilir angin malam. Lampu-lampu bandara berpendar keemasan, menciptakan bayangan panjang di lantai yang basah oleh gerimis. Saya menarik napas dalam, merasakan sensasi khas kota ini yang ramai namun tetap memiliki nuansa tenang di sela riuhnya aktivitas malam.

Makassar masuk dalam daftar tempat yang ingin saya kunjungi, bersama Toraja dan Tanjung Bira. Namun, baru di tahun 2021 ini saya bisa benar-benar menjejakkan kaki di tanah Sulawesi Selatan.

“yah akhirnya saya bisa menginjakan kaki dikota daeng”.

“Anda nanti kalau sudah sampai bandara bisa naik Damri atau Grab saja”

Pesan itu masih tersimpan di ponsel saya. Malam itu, saya berdiri di terminal kedatangan, dikelilingi oleh keramaian bandara yang terasa asing namun mengundang rasa penasaran. Beberapa orang sempat bertanya tujuan saya dan apakah saya sudah memesan transportasi online. Awalnya saya berniat naik Damri demi menghemat biaya, tetapi lelah setelah perjalanan lima jam dari Lampung serta gerimis yang makin deras membuat saya mengubah keputusan. Saya memesan Grab.

Saat ini, di Bandara Sultan Hasanuddin sudah tersedia beberapa booth taksi online seperti Gojek dan Grab. Tarifnya bervariasi tergantung tujuan. Malam itu, perjalanan saya menuju hotel di sekitar Pantai Losari dikenai tarif Rp160.000, belum termasuk biaya tol. Sedikit mahal dibandingkan Damri, tapi setelah perjalanan panjang, kenyamanan lebih penting.

Mobil yang saya tumpangi melaju melewati Tol Reformasi dan keluar di Jalan Nusantara. Namun, macet di sekitar Jalan Ahmad Yani memaksa kami memutar arah dan melewati Jalan Ujung Pandang. Saat itulah, mata saya menangkap sebuah bangunan bersejarah yang kokoh berdiri di tengah kegelapan malam.

“Oh, ini yang namanya Fort Rotterdam… Benteng yang menjadi saksi bisu perjalanan panjang Makassar,” saya berbisik pada diri sendiri.

Dahulu, benteng ini berpindah tangan dari satu penguasa ke penguasa lain, mencerminkan karakter Makassar sebagai kota yang selalu bergerak dan bertahan. Makassar, sebuah kota pesisir yang tak hanya kaya sejarah, tetapi juga memiliki denyut kehidupan yang tak pernah padam.

 

( Sorry fotonya gak jelas karena diambil didalam mobil )

Makassar dengan Malam yang cukup panjang

Akhirnya, mobil berhenti di depan lobi hotel. Saya mengucapkan terima kasih kepada pengemudi lalu bergegas masuk untuk check-in. Namun, antrean di resepsionis cukup panjang. Saya harus menunggu.

 

Lobby Favehotel

 

Penampakan kamar yang saya tiduri, twinbed karena tidak kebagian yang single bed.

Favehotel menjadi pilihan saya kali ini. Letaknya yang strategis di dekat Pantai Losari membuat saya mudah mengakses berbagai tempat yang ingin saya kunjungi selama di Makassar. Kamar yang saya tempati twin bed, bukan pilihan utama saya, tetapi tak masalah. Yang penting, saya bisa segera merebahkan tubuh yang lelah.

Saat akhirnya saya bisa melepaskan tas dan duduk di tepi ranjang, perut saya mulai protes. 

“Saya lapar”. 

Ah bodohnya, saya lupa mencari makan lebih awal. Tanpa berpikir panjang, saya membuka aplikasi GrabFood dan menemukan restoran yang menawarkan diskon 40%. Saya memesan dua hidangan khas Makassar : Mie Titi dan Nasi Goreng Merah.

 

View dari Jendela kamar hotel

Namun, saat makanan tiba, saya baru menyadari sesuatu.

“Wah, gimana cara makannya kalau begini?”

Mie Titi yang saya pesan disajikan dengan kuah dalam plastik dan mie kering dalam kertas minyak. Tak ada wadah untuk mencampurnya.

Catatan penting: Jika ingin menikmati Mie Titi di hotel, pastikan kalian punya mangkuk dan sendok.

Malam itu, saya makan sambil menikmati pemandangan kota Makassar dari jendela kamar. Cahaya lampu jalan berpendar di permukaan laut, menciptakan suasana yang tenang dan sedikit melankolis. Saya menarik napas panjang. Perjalanan ini baru dimulai.

Dan saya tak sabar untuk melihat apa yang akan terjadi esok hari.

Biaya Perjalanan:

  • Hotel (Favehotel, Pantai Losari): Rp250.000/malam x 2 malam = Rp500.000

  • Grab Bandara – Hotel: Rp160.000
  • Biaya Tol: Rp20.000
  • Makanan (Mie Titi & Nasi Goreng Merah): Rp60.000 (setelah diskon)

Next Part……

 

Posted in Sulawesi Selatan, TravelTags:
Write a comment

© 2026 All Rights Reserved.
Email: hello@putriorin.com
Write me a message

    * I promise the confidentiality of your personal information