Newsletter
Newsletter

Sarabba dan Perjalanan Malam

Scroll down
Putri Orin
Putri Orin
I`m
  • Residence:
    Indonesia
  • City:
    Jakarta

March 28, 2022

8:36 pm

Orin

Makassar masih selalu diguyur hujan, bahkan malam itu. Dari perkiraan cuaca, intensitas hujan tinggi sudah berlangsung selama tiga bulan terakhir, sejak September hingga November 2021. Hujan tipis mengguyur jalanan, menciptakan kilauan cahaya dari lampu jalan yang memantul di aspal basah.

“Anda sudah makan malam belum?” tanyanya, suaranya lirih tertelan suara gerimis.

“Belum”.

“Mau makan Mie Titi? Kita coba makan di Mie Titi Irian, katanya enak. Setelah itu, kita beli Sarabba.”

“Oke, saya mah ngikut aja. Btw, Sarabba itu yang mirip Bandrek ya? Minuman jahe susu yang pernah saya ceritakan?”

“Iya mungkin mirip, nanti lah dicoba saja”.

Mie Titi ex Irian ( Mie Titi Irian )

Kami pun memesan Grab menuju lokasi. Mie Titi Irian berada di Jl. Dr. Wahidin Sudiro Husodo No.12, Pattunuang, Kec. Wajo, Kota Makassar. Namun, setibanya di sana, tempat itu sudah penuh sesak. Orang-orang berdiri di depan, mengantri demi mendapatkan tempat duduk. Suasana riuh rendah oleh suara pelanggan dan pelayan yang sibuk.

Mie Titi Irian

Apa itu Mie Titi ?

Bagi yang belum tahu, Mie Titi adalah hidangan khas Makassar. Mie ini digoreng hingga kering dan renyah, kemudian disiram kuah kental gurih berisi daging ayam, bakso, udang, cumi, serta sayur sawi.

Mie Titi Irian sendiri telah berdiri sejak tahun 1950 dan memiliki banyak cabang di Makassar. Bukan hanya favorit warga lokal, tetapi juga menjadi destinasi kuliner bagi wisatawan. Pilihan menu utama ada dua: Mie Titi Ayam dan Mie Titi Seafood. Selain itu, mereka juga menyediakan menu lain seperti nasi goreng, mie kuah, dan ayam goreng. Harga yang ditawarkan berkisar antara Rp 33.000 hingga Rp 44.000.

Saya menatap antrean panjang dan merasa ragu. “Jadi gimana? Mau makan di sini? Tapi penuh banget.”

“Saya coba masuk dulu, siapa tahu ada tempat kosong.”

Sambil menunggu di depan, saya memperhatikan suasana sekitar. Para pengunjung yang baru datang tampak kecewa melihat antrian. Beberapa driver GoFood dan GrabFood ikut berbaris, menunggu pesanan mereka selesai. Seorang tukang parkir sibuk mengatur kendaraan agar tidak menghalangi jalanan.

Saya menghela napas. Beginilah kehidupan, penuh perjuangan. Orang-orang bekerja keras hanya demi bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan sehari-hari.

“Dan saya yakin, salah satu alasan mereka bersemangat bekerja adalah karena ada orang yang ingin mereka bahagiakan,” gumam saya dalam hati.

Tak lama kemudian, dia kembali. “Penuh semua, belum ada yang kosong. Jadi bagaimana? Kamu sudah lapar belum?”

Saya menggeleng. “Belum terlalu lapar sih, kamu gimana?”

“Saya juga belum lapar. Saya mah bisa makan Mie Titi kapan aja.”

Saya tertawa kecil. “Ya udah, kita cari makan lain aja, atau kita minum Sarabba dulu?”

“Ya oke lah kalau begitu.”

Malam itu kami tidak jadi makan Mie Titi dan memutuskan untuk langsung pergi minum Sarabba.

Perjalanan Malam Menuju Kedai Sarabba

Kami memutuskan berjalan kaki menuju kedai Sarabba di Jl. Sungai Cerekang. Jaraknya sekitar 12 menit dari tempat kami berada. Jalanan masih basah oleh hujan yang baru reda. Udara terasa lebih sejuk.

“Kita jalan aja ya? Gak jauh kan?” saya bertanya

“Iya, lumayan sih. Tapi yakin mau jalan kaki? Nggak capek nanti?”

“Gak lah. Saya udah biasa jalan kaki. Dulu di Jakarta, pas pulang kerja macet banget, saya sering turun dari angkot dan jalan kaki. Lagian, saya memang lebih suka jalan kaki. Mungkin karena saya gak bisa naik motor.” Saya terkekeh.

“Oh, kamu nggak bisa naik motor? Kirain bisa.”

“Bisa sih, tapi malas aja.”

Langit malam semakin gelap, namun jalanan Makassar tetap hidup. Kendaraan lalu lalang, lampu-lampu kota berpendar di kejauhan. Kami melewati Karebosi Link, sebuah area yang membawa saya kembali ke kenangan lama.

“Dulu saya pernah jalan kaki lewat sini, pas ikut demo. Saya dan teman-teman nunggu lama di sini karena banyak polisi. Mereka menangkap demonstran seenaknya. Ada teman saya yang tiba-tiba dipukul, padahal nggak ngapa-ngapain.”

“Wih, parah banget. Emang kadang suka asal mukulin orang.”

Perjalanan dari Mie Titi Irian ke Warung Sarabba

Malam semakin larut, namun hiruk-pikuk kota Makassar justru kian ramai. Lampu-lampu jalan berpendar, beradu cahaya dengan sorot kendaraan yang terus melaju tanpa henti. Asap knalpot dan suara klakson berpadu dalam simfoni khas kota besar. Namun di antara riuhnya mesin dan langkah-langkah tergesa, hanya ada segelintir pejalan kaki yang melangkah pelan—saya salah satunya.

Di bawah langit yang setengah tertutup cahaya buatan, kami berjalan beriringan, berbincang sepanjang perjalanan. Obrolan mengalir begitu saja, membahas kehidupan, perjalanan, impian, dan cita-cita yang belum sempat terwujud. Kata-kata yang terucap seakan menari di udara, menambah kehangatan di antara dinginnya angin malam.

Karebosi Link Makassar

Saya masih ingat bagaimana matamu berbinar saat kau bercerita tentang aksi peduli rakyat. Suaramu penuh semangat, seperti api yang menyala di kegelapan. Kau menolak berbagai rancangan undang-undang yang dianggap tak berpihak pada rakyat—RUU Pertahanan, Minerba, Ketenagakerjaan, dan lainnya.

Saya merasakan gejolak emosimu ketika kau menjelaskan betapa sulitnya petani mendapatkan benih. Proses panjang dan berliku seolah merampas kebebasan mereka. Petani kecil hanya diizinkan melaporkan hasilnya kepada pemerintah tanpa kuasa atas nasib mereka sendiri.

Sungguh ironi. Kau berkata,

“RUU ini penuh celah dan ketimpangan, bertentangan dengan semangat reforma agraria”.

Saya mendengarkan dalam diam, meresapi setiap kata.

Sarabba Minuman penghangat Malam

Akhirnya, kami tiba di Jl. Sungai Cerekang. Deretan warung Sarabba berjajar di pinggir jalan. Para penjual menawarkan dagangannya dengan antusias, bahkan sampai mendekati kendaraan yang melintas. Saya mengernyit.

“Itu kenapa harus nawarinnya kayak gitu sih? Nggak takut ketabrak?”

“Entahlah. Memang dari dulu seperti ini. Mungkin karena mereka berpikir cara ini bisa menarik pelanggan lebih banyak.”

Kami memilih duduk di sebuah warung tepat di depan Vihara Dharma Agung. Warung itu tidak terlalu ramai, suasananya cukup nyaman.

Salah satu warung sarabba di Jl.Sungai Cerekang

“Pesan dua Sarabba ya, Kak,” ucap saya kepada pelayan.

“Mau tambah pisang epe atau mie juga?” tanyanya ramah.

Saya menoleh ke teman saya. “Anda mau pisang juga?”

“Pisang epe aja. Saya nggak makan. Tapi kamu lapar ya? Tadi bilang belum lapar.”

Saya nyengir. “Iya, habis jalan, baru terasa lapar.”

Saya pun memesan tambahan pisang epe dan mie goreng.

Sarabba

Apa itu sarabba?

Sarabba adalah minuman khas Bugis yang terbuat dari jahe, gula aren, santan, merica, serta rempah-rempah seperti cengkeh dan kayu manis. Mirip dengan Bandrek, tetapi lebih kental karena dicampur santan. Minuman ini sangat cocok untuk menghangatkan tubuh, terutama di musim hujan seperti ini. Selain itu, Sarabba juga kaya manfaat—jahe membantu melancarkan peredaran darah, gula aren mencegah anemia, dan santan kelapa mengandung zat besi yang baik bagi tubuh.

Ketika Sarabba tersaji di hadapan kami, aroma rempahnya langsung menyeruak, menghangatkan malam yang dingin. Saya meniup permukaannya perlahan sebelum menyesapnya. Rasa hangat langsung menjalar dari tenggorokan hingga ke dada.

“Ini enak banget. Kayaknya bisa jadi favorit saya.”

“Makanya, tadi saya ajak coba.”

Malam itu, kami menikmati Sarabba sambil mengobrol. Hujan yang mengguyur Makassar sebelumnya seolah menghadirkan kehangatan tersendiri. Kadang, kebersamaan sederhana seperti ini lebih berarti daripada sekadar kenyang.

Posted in Foods, Sulawesi Selatan, TravelTags:
Write a comment

© 2026 All Rights Reserved.
Email: hello@putriorin.com
Write me a message

    * I promise the confidentiality of your personal information